Beberapa tahun lalu, saat mengkaji proses fact-finding kami, saya berkata kepada tim, “Tepat setelah pertemuan dengan nasabah di kantor selesai, kita bertanya, 'Pak/Bu, mengapa Anda memilih kami? Adakah hal yang membuat kami berbeda atau lebih istimewa?' Lalu, diam dan biarkan nasabah menjawab. Ucapkan salam perpisahan, pergi ke ruang sebelah. Lalu, di kertas A3, tuliskan perkataan mereka, sama persis hingga titik dan komanya.” Kertas-kertas ini lantas saya bawa ke rapat dengan tim back-office. Saya berkata, “Ini ucapan bapak dan ibu anu tentang kita. Bagus, 'kan?” lalu kami semua melihatnya. Setelah mengumpulkan dan menempel banyak komentar nasabah, lambat laun di ruang back office kami terpajang 20 lembar kertas.
Riset pemasaran mandiri
Kami melihat dinding yang penuh dengan testimoni dan kami bisa menemukan pola temanya. Lalu, mengapa harus bayar mahal ke agensi pemasaran untuk tahu konten marketing apa yang cocok untuk kita jika nasabah sendiri sudah menyatakan hal-hal yang diapresiasinya? Dengan metode ini, Anda bisa mereka kata untuk situs web dan materi pemasaran yang mengena di hati pasar sasaran Anda. Pertanyaan “Mengapa Anda memilih kami?” telah secara radikal mengubah strategi kami.
Proses yang sama juga diterapkan untuk mengkaji produk kami. Kami mencari tahu apakah produk tersebut nyata manfaatnya dan bagaimana kami bisa mempermudah proses pembeliannya. Semua kembali ke dasar-dasarnya. Apa yang diinginkan nasabah? Apa masalah yang kami atasi? Saat lembar-lembar testimoni ini kami kumpulkan, kami sadar proses lengkapnya belum kami tunjukkan. Ceritanya baru fokus pada aktivitas saat nasabah ada di kantor, tetapi kisah tentang apa yang terjadi setelah produk dibeli belum tersampaikan.
Jadi, kami bercerita tentang kisah 'di balik layar' untuk menunjukkan seluk-beluk prosesnya. Kami harus berupaya keras untuk ini. Kami mulai berkata, “Pak/Bu, Anda akan menapaki sebuah perjalanan dan kami ingin mendampingi. Tidakkah ini menggembirakan? Kita akan menjalaninya bersama-sama.”
Berbincang lebih dalam
Seberapa jauh Anda mengisahkan cerita dan perjalanan Anda kepada nasabah? Dulu saya tidak melakukannya. Hingga di satu titik, saat nasabah mengalami situasi sulit, saya sadar mereka harus bercerita sedikit soal latar belakang masalahnya. Ternyata, makin terbuka saya bercerita, makin terbuka dan mendalam dialog yang terjadi dengan nasabah.
Khususnya selama pandemi, saya belajar untuk lebih mau bertanya dan ingin tahu. Saat sedang bertukar kabar dengan keluarga, tim, dan nasabah selama lockdown, saya sadar saya sering mengajukan pertanyaan ini: “Bagaimana perasaanmu?” Kita terbiasa bertanya, “Apa kabarmu?”, yang biasanya dijawab singkat, “Baik,” setelah itu sudah.
Coba tanyakan, “Bagaimana perasaanmu?” Saat ditanya seperti itu, saya tidak bisa menjawab seadanya. Saya harus merenung dan berpikir, Oh, bagaimana ya perasaanku? Pertanyaan itu merangsang rasa hati, mempererat koneksi, dan meragamkan bahan perbincangan.
Keutuhan relasi
Bertanya kabar nasabah itu penting sekali. Saat lockdown pandemi dimulai, saya duduk bersama tim untuk mencari tahu bagaimana kami menghadapi situasi ini karena, boleh jadi, ratusan orang akan menghubungi kami tiap jam, ingin tahu apa yang terjadi. Saya berpikir, Bagaimana agar tidak sampai seperti itu?
Maka, saya duduk bersama Nick, kolega kantor saya, untuk merekam wawancara 10 menit tiap pekan. Kami mengirimkannya kepada nasabah tiap Kamis malam, untuk menyampaikan isi pikiran saya. Kami mencoba menenangkan nasabah dan, ya, seperti semua orang lainnya, kami tak tahu-menahu seperti apa persisnya pandemi ini dan bagaimana jadinya nanti. Tapi pesan tersebut menjadi kata-kata yang menumbuhkan keyakinan, kepercayaan, dan ketenangan. Yang kami suguhkan bukan saran keuangan. Saya dan Nick rapat selama sekitar setengahjam sebelum merekam video dan mengamati tajuk-tajuk berita untuk bahan pembicaraan. Kami pun hanya merekam menggunakan ponsel.
Kami pikir komunikasi ini hanya berlangsung beberapa pekan, tapi tanggapan nasabah luar biasa. Setelah lebih dari setahun kemudian pun mereka tetap menantikannya. Hanya seperti obrolan santai tentang keluarga, teman, dan kabar-berita selama 10-15 menit saat seorang penasihat bertemu tatap muka dengan nasabahnya. Itu saja, tapi dari situ tercipta koneksi yang menjaga keutuhan relasi dengan nasabah. Inilah yang saya maksud dengan rasa ingin tahu: membayangkan cara-cara lain dan mampu menjaga komunikasi, sekalipun di masa-masa sulit.