Kelompok kelas menengah baru atau emerging middle class merupakan kelas menengah menurut standar negara berkembang tetapi bukan menurut standar negara maju karena pendapatan uang mereka tidak sesuai dengan tingkat negara maju. Boston Consulting Group dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk ‘Aspiring Indonesia: Expanding the Middle Class’ pada tahun 2020, membagi populasi menjadi tujuh kategori, tiga di antaranya masuk dalam kelas ‘menengah’. Kelompok menengah atas terdiri dari mereka yang pengeluarannya antara Rp 3.000.000 – 5.000.000 per bulan (sekitar US$600 US$1.000 disesuaikan dengan daya beli), kelompok menengah antara Rp 2.000.000 – 3.000.000 (US$400-US$600), dan kelompok menengah baru antara Rp 1.500.000 – 2.000.000 (US$300-US$400).
Menurut Miliana Marten, CFP, AEPP, anggota MDRT 14 tahun dengan 6 Court of the Table dan 2 Top of the Table dari Jakarta, Indonesia, asuransi bukan prioritas bagi keluarga kelas menengah baru di Indonesia. Mereka lebih mengutamakan untuk memperbaiki gaya hidup dalam hal liburan keluarga yang lebih mewah ataupun membeli gadget terbaru. Kepada prospek dari kelas menengah baru, Marten menjelaskan bahwa tidak selamanya langit cerah jadi apabila terjadi hujan, prospek perlu menyiapkan payung untuk menjaga diri agar tidak basah.
“Selain mengalokasikan dana untuk meningkatkan gaya hidup, prospek dari kelompok kelas menengah baru harus paham bahwa menjamin kestabilan keuangan pada saat musibah terjadi sangat penting. Dari penghasilan yang dimiliki maka maksimal hanya 70% saja yang boleh dibelanjakan untuk biaya hidup maupun hal mewah lainnya seperti liburan dan gadget baru. Minimal 30% perlu disisihkan untuk dana masa depan baik tabungan jangka panjang maupun tabungan jangka pendek. Walaupun asuransi bukan murni tabungan, tetapi menyisihkan dana untuk membeli asuransi sama dengan menciptakan aset dengan uang kecil. Aset asuransi akan sangat berguna pada saat kehidupan tidak berjalan seperti yang kita inginkan. Pada saat musibah sakit atau meninggal dunia, aset dalam bentuk asuransi inilah yang bersifat likuid dibandingkan aset-aset lainnya,” ucap Marten.
Kelas menengah baru menjadi ceruk pasar atau niche market untuk industri asuransi, khususnya penasihat keuangan di Indonesia. Marten mengatakan dalam menjelaskan asuransi, penasihat keuangan perlu menggunakan istilah yang sederhana. Dengan menggunakan bahasa dan istilah asuransi yang sederhana serta memberikan contoh konkret mengenai asuransi, prospek akan lebih mudah mengerti. Produk asuransi yang biasanya Marten rekomendasikan kepada kelas menengah baru adalah proteksi penghasilan dimana prospek perlu diedukasi tentang pentingnya melindungi penghasilan dan pencari nafkah agar pada saat terjadi risiko kehidupan – baik itu penyakit kritis maupun meninggal dunia – keluarga dapat tetap menjaga tingkat ekonomi keluarga.
Rudy Setiawan, QWP, QFE, anggota MDRT 12 tahun dengan 2 Court of the Table dari Solo, Indonesia melihat bahwa kelas menengah baru masih menganggap asuransi sebagai kebutuhan sekunder atau bahkan kebutuhan tersier, bukan menjadi kebutuhan primer setelah sandang, pangan, dan papan. Mengubah mindset prospek yang berasal dari kelas menengah baru memberikan tantangan tersendiri bagi Setiawan. Untuk mengatasi hal tersebut, Setiawan akan memberikan bukti-bukti nyata seperti contoh klaim-klaim yang pernah ia tangani. Biaya rumah sakit yang sangat tinggi jika terkena penyakit kritis biasanya yang menyadarkan prospek dari kelas menengah baru bahwa memiliki asuransi itu termasuk ke dalam tingkat urgensi yang tinggi agar mereka dapat tetap melanjutkan hidup jika risiko kehidupan terjadi. Asuransi dapat melindungi tulang punggung keluarga yang masih dalam usia produktif jika mereka terkena penyakit kritis dan tidak dapat menafkahi keluarga.
“Saya menggunakan metode yang lebih cenderung ke personal approach dengan menunjukkan sikap empati sebagai pendengar karena jika prospek sudah nyaman dengan saya, semuanya pasti akan mengalir. Kuncinya ada di rasa nyaman, jika prospek dan nasabah sudah nyaman maka saya akan dengan mudah mendapatkan kepercayaan mereka sehingga saya bisa dengan pelan-pelan menyampaikan berbagai informasi dan masukan dalam memberikan solusi tepat yang sesuai dengan kebutuhan nasabah. Setelah mendapatkan kepercayaan dari prospek dan nasabah, maka langkah selanjutnya adalah menjaga kepercayaan tersebut dengan selalu memberikan fast respond atau respons cepat dan hadir kapan pun nasabah membutuhkan sehingga mereka merasa aman dan tidak kecewa dengan pelayanan saya. Saya juga mencari tahu apa keluhan calon nasabah dan mempelajari situasi finansial mereka sebelum menentukan produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan dan keinginan calon nasabah. Semua data dan informasi yang saya kumpulkan akan tepat sasaran, efektif, dan bermanfaat bagi mereka,” ujar Setiawan.
Dari sudut pandang seorang penasihat keuangan, Setiawan tidak keberatan jika masyarakat Indonesia memilih untuk membeli polis asuransi melalui aplikasi insurtech mengingat sekarang sudah masuk era digital dan masyarakat semakin sensitif mengenai harga. Namun menurutnya pribadi, ia kurang begitu cocok jika pembelian asuransi secara daring karena beberapa alasan berikut ini:
- Tidak ada kantor pemasaran resmi/fisik gedung yang dapat didatangi nasabah jika mereka ingin mengajukan komplain atau membutuhkan informasi lebih lanjut. Ini menjadi salah satu poin penting yang perlu penasihat keuangan beritahu kepada prospek/ nasabah yang ingin membeli polis asuransi secara daring.
- Penawaran polis asuransi secara daring tidak menjelaskan secara detail untuk semua manfaatnya karena waktu berbicara dengan agen daring yang terbatas sehingga dikhawatirkan banyak penafsiran yang salah dari penjelasan agennya atau mispersepsi. Ketidakhadiran penasihat keuangan yang secara khusus melayani satu nasabah ketika membeli polis asuransi secara daring menjadi poin penting lainnya yang perlu diberitahukan kepada prospek/nasabah yang ingin membeli asuransi secara daring.
- Tidak ada hubungan interpersonal yang terjalin antara agen daring dan nasabah karena semuanya dilakukan secara digital. Keterikatan hubungan emosional yang biasanya terjalin antara penasihat keuangan dan nasabah pada asuransi konvensional tidak dapat dirasakan oleh mereka yang membeli polis asuransi secara daring.
- Karena semua hubungan dilakukan secara digital, kendala yang sering juga terjadi adalah sistem down atau error yang tidak dapat diprediksi kapan akan terjadi.
“Kelas menengah baru merupakan kelompok masyarakat yang sangat fasih dalam melakukan transaksi secara daring. Aplikasi insurtech yang menjual polis asuransi dengan harga terjangkau dapat menjadi pintu pembuka bagi keluarga kelas menegah baru untuk memiliki asuransi pertama mereka dengan nilai pertanggungan yang kecil. Namun saya menyarankan kepada masyarakat yang ingin memiliki asuransi kedua dan seterusnya untuk mendapatkan arahan dan bimbingan dari seorang penasihat keuangan karena pembelian polis asuransi secara daring tidak memberikan fasilitas diskusi interaktif dengan penasihat keuangan sehingga prospek tidak tahu apakah produk yang dibelinya sudah tepat sesuai kebutuhan. Selain itu, produk asuransi yang dijual daring memiliki batasan untuk uang pertanggungan. Jika prospek ingin memiliki uang pertanggungan yang besar maka diperlukan proses underwriting secara kesehatan dan secara finansial yang tentunya memerlukan bantuan jasa penasihat keuangan untuk menjalankan prosesnya,” tutup Marten.
Contact: MDRTeditorial@teamlewis.com