Peduli pangkal referensi
Tetsuo Kageshima
di Majalah Round the Table1 Nov 2023

Peduli pangkal referensi

Watanabe kembangkan pusat pengaruh untuk rambah pasar milenial dan Gen Z yang sulit dimasuki.

Giat bergaul di lingkaran nasabah potensial adalah taktik prospecting standar untuk penasihat, tapi terkadang aktivitas dan tempat yang menghasilkan bisnis baru bisa jadi kejutan yang menyenangkan – lapangan rugbi, misalnya.

Motoki Watanabe, anggota empat tahun MDRT dari Tokyo, Jepang, pernah jadi pemain pengganti dadakan untuk sebuah tim rugbi. Sesampainya di pinggir lapangan sebelum pertandingan, ia disapa seorang pemain besar yang juga kasar dan agak galak. Watanabe memperkenalkan diri sebagai seorang life planner. “Kerjaan apa tuh?” kata rekan satu timnya ini blak-blakan.

Watanabe menjawab, ia seorang agen asuransi. Pemain rugbi itu meminta Watanabe meninjau satu-satunya polis yang dia miliki saat itu, sebuah rencana asuransi kumpulan dari perusahaan sponsor timnya. Tapi Watanabe tidak langsung mengiyakan. Ia justru mengundang prospek untuk menonton pertandingan bola bersama keluarganya.

“Saya ingin dikenal dan disukai sebagai manusia, bukan agen asuransi,” kata Watanabe. “Itu mengapa saya tidak langsung loncat ke bisnis.”

Mereka bertemu beberapa kali lagi tanpa membahas asuransi, hingga suatu hari prospek memelas, “Kapan asuransiku akan kamu reviu?” Watanabe akhirnya menerima permintaan itu dan menunjukkan mana yang cakupan polisnya kurang dan mana yang berlebihan. Dalam beberapa bulan berikutnya, Watanabe (saat itu baru dua tahun berkarier) direferensikan ke 40 prospek oleh nasabah barunya, sebagian besar di antaranya adalah kolega nasabah atau atlet lain penggemarnya.

Temu kenali pusat pengaruh

“Orang berprestasi hampir selalu ada di pusat sebuah tim, grup, atau organisasi,” katanya. “Mereka biasanya menduduki posisi kepala tim pemandu sorak, kapten tim sepak bola, atau dirigen paduan suara. Jika mereka mengenal Anda sebagai orang baik, mereka bisa menjadi inisiator lingkaran referensi, persis seperti pemain rugbi yang membuka aliran deras referensi saya tadi.”

Sekalipun individu berusia 20an lebih enggan membeli asuransi jiwa dibanding generasi yang lebih tua, pasar sasaran Watanabe (31) adalah kalangan segenerasi dengan dirinya. Lalu mengapa peraih dua kualifikasi Court of the Table ini sukses menggarap pasar yang sulit dimasuki?

“Penyakit atau cedera dapat membuat orang tak bisa diasuransikan, sekalipun dia masih belia,” kata Watanabe. “Sakit atau cedera tidak bisa dihindari. Jadi, saya sarankan prospek untuk membeli asuransi mumpung belum terlambat.”

Orang tertarik dengan orang yang peduli, dan orang berpengaruh cenderung punya banyak relasi yang berpotensi menciptakan lingkaran referensi. Karenanya, ia giat berinteraksi dengan orang-orang seperti itu. Namun, strategi menarik referensi tidaklah sederhana karena pusat pengaruh (COI) bisa bersikap protektif terkait mereka yang berada di lingkarannya.

“Mereka peduli pada orang-orang di jaringan dekatnya. Juga peduli pada keluarga mereka,” kata Watanabe, sembari menambahkan ia beruntung bisa berjumpa orang yang tepat, yang lantas menandakan bahwa ia pun COI untuk mereka dan menghargai relasi personal dengan mereka.

Bagi Watanabe, merawat segmen nasabah muda bisa membuahkan aliran prospek di masa mendatang karena nasabahnya akan memiliki anak dan lebih terbuka soal asuransi untuk anak-anak mereka atau menambah asuransinya sendiri untuk melindungi keluarga.

“Anak-anak itu akan tumbuh dewasa, menikah, dan memiliki keturunan – segmen nasabah muda kaya akan potensi,” katanya.

Perencanaan matang

Sikap positif membekaskan kesan baik di mat generasi muda dan, karena pembawaan Watanabe yang ceria disambut hangat para nasabah, mereka lebih mau menerima sarannya.

“Tak ada cara mudah dan cepat untuk membuktikan validitas produk asuransi setelah dibeli,” kata Watanabe. “Itu mengapa saya teliti dalam merumuskan masalah, menimbang semua kemungkinan, sebelum merancang polisnya. Kita perlu menjaga sikap percaya diri dan berbagi pandangan positif dengan nasabah atas dasar hipotesis yang matang.”

Dalam relasi penasihat dengan nasabah, terkadang penasihat menjadi penggerak dinamika pertemuan dan mengajukan solusi yang tidak dievaluasi siapa pun. Boleh jadi, hasilnya adalah rencana yang berdasar pada hipotesis yang belum diyakini betul oleh penasihat, atau rencana yang dibeli nasabah tidak tepat.

“Saat menangani prospek/nasabah, tidak semua selalu berjalan sesuai rencana. Saat merumuskan hipotesis untuk perencanaan asuransi, saya tidak mengejar kesempurnaan. Yang saya dahulukan adalah proses Plan Do Check Act,” katanya, mengacu pada teknik pemecahan masalah empat langkah yang dipopulerkan pakar kendali mutu W. Edwards Deming dengan alur feedback yang sinambung sehingga pengguna dapat merumuskan dan menguji teori-teorinya. “Dengan proses ini, saya bisa lebih mendekati solusi yang tepat untuk nasabah. Itu cara yang saya jalankan.”

Tetsuo Kageshima adalah penulis untuk Team Lewis, agensi komunikasi yang membantu pengembangan konten MDRT untuk pasar Asia-Pasifik. Hubungi mdrteditorial@teamlewis.com.

Kontak

Motoki Watanabe motoki.watanabe@prudential.co.jp