Perjalanan pribadi saya menuju perencanaan waris
Saya kira waktu saya banyak untuk merencanakan keberlangsungan bisnis. Tapi saat dijegal masalah kesehatan yang mendadak dan berpotensi mengancam jiwa, saya sadar betapa saya tidak siap dalam melindungi keluarga dan mencegah kebingungan serta gangguan di praktik jasa saya.
Darurat medis yang saya alami dimulai setelah saya memeriksakan diri ke klinik UGD setempat karena beberapa hari merasakan sakit di bagian perut. Saya cemas, dokter bilang saya perlu segera masuk kamar darurat untuk CT scan. Beberapa jam kemudian, dokter menerangkan rasa nyeri itu mungkin dikarenakan penebalan di dinding usus kecil dan barangkali cuma karena virus. Saya agak lega. Pikir saya, kondisi saya relatif aman, tetapi lantas dokter lanjut menyampaikan kabar yang meresahkan. Selain virus, tim dokter melihat adanya massa jaringan di perut saya. “Kami menduga itu GIST — atau disebut juga tumor stroma gastrointestinal,” kata dokter. “Saya akan panggil tim bedah dan mungkin Anda perlu opname; nanti kita bahas kelanjutannya.”
Terbaring di brankar, menunggu kabar lanjutan, saya ambil ponsel dan saya Google kondisi ini. Hasil pencariannya menggalaukan hati. Di A.S., hanya 1 dari 120.000 orang setahun yang mengidap tumor GIST, dan dokter tidak mengetahui penyebabnya. Mereka tahu bahwa tumor ini awalnya kecil dan terisolir, tetapi bisa membesar, menyebar, dan akhirnya ganas. Tumor ini tak bisa ditangani dengan kemoterapi atau radiasi. Jadi, satu-satunya cara adalah operasi, itu pun kalau belum menyebar. Sungguh kondisi yang tak ingin saya hadapi.
Saat merenungkan jalan terbaik untuk keluarga apabila saya tiada, saya sadar saya perlu mengkaji hal yang membuat bisnis saya berharga dan siapa kandidat terbaiknya.
Wasiat saja tidak cukup
Saya mulai merenungkan apa saja yang telah saya perbuat untuk melindungi keluarga. Ya, saya dan istri saya, Stacia, telah memperbarui wasiat-wasiat kami sekitar setahun pra-pandemi untuk mengantisipasi banyak hal, tetapi saya sadar saya belum pernah menimbang rencana suksesi atau keberlangsungan bisnis saya dengan serius. Apa yang akan terjadi jika saya meninggal karena komplikasi bedah, jika proses pemulihan ternyata lebih rumit dari dugaan, atau jika dokter mendapati tumornya sudah menyebar?
Di keluarga kami, tata kelola bisnis saya diatur oleh ketentuan-ketentuan surat kuasa di wasiat saya. Artinya, Stacia akan mewarisi dan menjalankan perusahaan, tetapi kami tak pernah membicarakan dia mau atau tidak? Dia mampu atau tidak?
Saya lekas menyadari ini bukan pilihan yang efektif dan mencoba menyusun model tata kelola dengan konsep yang saya temukan di buku berjudul Traction. Buku ini membahas andil dua tipe individu sebagai syarat kesuksesan bisnis — si “visioner” yang memiliki visi serta kemampuan menjalankan usaha dan si “pemersatu” yang bekerja berdampingan dengan si visioner untuk mengawasi semua aspek operasional usaha.
Akhirnya, saya menetapkan hati: Keluarga saya perlu wali apabila yang mana pun dari tiga skenario buruk itu terjadi. Saya merenungkan kriteria untuk wali ini. Apa dia perlu tahu portofolio produk saya? Apa dia perlu punya skill operasional yang lebih kuat untuk melengkapi skill visioner saya? Yang terpenting, apakah istri saya dapat menerimanya? Saya pantau tiga orang di industri ini, memilih satu yang terbaik sebagai wali keluarga, menghubunginya, dan ia setuju mengemban peran itu jika dibutuhkan.
Bersiap untuk yang terburuk
Saya sadar, kalau operasinya gagal, saya harus menentukan kepada siapa ahli waris mesti menjual perusahaan dan apakah opsi terbaiknya menjual ke anggota tim internal atau ke badan usaha eksternal. Saat itu, ada 11 orang yang bekerja untuk saya, dengan tiga orang pengurus inti: tangan kanan saya, yang telah bersama saya selama 27 tahun, dan dua orang lain yang telah bersama saya selama lebih dari dua dekade. Kami semua saling melengkapi dan saya menimbang-nimbang apakah dengan menjual perusahaan ke pihak luar saya tidak menghormati tim senior saya.
Saat merenungkan jalan terbaik untuk keluarga apabila saya tiada, saya sadar saya perlu mengkaji hal yang membuat bisnis saya berharga dan siapa kandidat terbaiknya. Selama berkarier, saya beruntung dapat menjual ribuan polis perorangan yang menghasilkan aliran penghasilan pasif yang stabil, seperti AUM. Jika perusahaan dijual ke tim internal, kelangsungan layanan akan tercipta sejak awal. Namun, saya juga sadar karier saya ditopang dengan penjualan satu produk ke berbagai lembaga kesehatan di Amerika. Bukankah baik jika perusahaan dibeli oleh salah satu kompetitor dengan pengalaman bisnis, staf, dan sistem yang siap menyerap bisnis saya? Terakhir, saya menimbang nilai dari relasi bisnis kami dengan sekian banyak nasabah perorangan dan lembaga. Apakah perusahaan dengan tawaran produk dan jasa yang lebih beragam akan melihat portofolio polis perorangan saya sebagai potensi berharga, ataukah firma dengan spesialisasi manfaat kumpulan akan tertarik dengan segmen nasabah institusi saya?
Semua pertanyaan penting itu harus dijawab, dan saya mulai mengkaji penjualan internal. Saya merenungkan mengapa saya dan tangan kanan saya bisa bekerja serasi. Jawabannya adalah karena kami saling melengkapi — saya punya visi, dia punya stabilitas. Lalu saya renungkan pertanyaan wajib untuk tiap orang yang tengah mencari pimpinan baru: Ingin orang yang punya visi untuk memajukan perusahaan, atau cuma mencari orang untuk memelihara perusahaan? Jawabannya berbeda-beda tergantung hasil akhir yang diinginkan — lanjutkan usaha atau jual dan bubarkan. Tapi saya berpikir, bagaimana penerimaan staf bila tangan kanan saya jadi pemimpin perusahaan? Saya ingat sesi yang kami ikuti belum lama ini. Kami ditanya oleh konsultan personalia kami, “Apa satu kata yang mewakili diri Anda di perusahaan ini?” Kata yang langsung melintas di benak saya adalah “maju”. Tangan kanan saya memilih kata “stabil”. Punya manajer yang memastikan perusahaan dapat menepati janjinya dan menjaga kelancaran proses kerja tentu baik sekali. Tapi akankah si penerus ini mampu menjaga staf yang telah bersama saya bertahun-tahun? Saya harus menjawab pertanyaan berat seperti, apakah dia siap mengawasi semuanya? Kalau tidak, siapa yang bisa diajak bergabung dan bagaimana dampaknya pada stabilitas dan nilai perusahaan? Selain itu, bisakah tangan kanan saya memajukan perusahaan dan apakah dia punya dana untuk membeli perusahaan?
Saat mencoba menjajaki semua pertanyaan ini sebelum menjalani operasi, saya simpulkan: Satu-satunya opsi terbaik untuk saya dan keluarga jika saya tidak selamat adalah menjual perusahaan ke lembaga eksternal, dengan tetap memastikan tim saya terlindungi dan bisa mendapatkan semacam manfaat ekonomi dari penjualannya. Kami harus mencari solusinya di luar perusahaan. Tapi siapa yang bisa mencarikan calon pembelinya?
Bersiap untuk kemungkinan penjualan
Secara bersamaan, saya membentuk tim kedua – tim pembubaran usaha – yang akan bertindak mencari calon pembeli perusahaan jika perlu dijual. Saya pilih dua orang untuk fungsi konsultasi ini: Yang satu mengenal pasar dan kompetitor saya dan yang lain seorang negosiator andal. Bila perlu, merekalah yang mengajukan tawaran ini ke wali saya, yang kemudian menyampaikannya ke istri saya.
Hal pertama yang saya kaji adalah valuasi perusahaan saya. Untuk ini, saya mengundang dua perusahaan untuk ikut tender jasanya. Hal kedua adalah komunikasi dengan para nasabah utama dan pusat pengaruh, guna memastikan bahwa, jika sesuatu terjadi pada diri saya, mereka tahu bagaimana prosesnya.
Staf adalah pertimbangan berikutnya. Nilai dari sebuah perusahaan adalah stafnya. Bagaimana kalau mereka berpikir, David sudah tiada atau David cuti enam bulan dan saya terpaksa bekerja dengan atasan baru; apa baiknya cari pekerjaan lain saja? Maka, kami mulai membuka ruang dialog dengan staf agar mereka memahami langkah-langkah yang diambil. Kami menangani isu-isu ini lewat rapat mingguan, menyusun bagan alir operasional untuk tiap proses di perusahaan, siapa pelaksananya, siapa penerima laporannya, dan siapa yang akan mengelolanya.
Saya dapati, hal terpenting dalam perencanaan suksesi adalah bersikap jujur dengan staf. Salah satunya adalah dialog terbuka, seperti yang saya lakukan dengan tangan kanan saya. Dia perlu memahami pikiran saya dan saya perlu bertanya, “Kamu mau melakukannya? Apa saja kekhawatiranmu?” Jika dia tidak mau, saya ingin bisa melindunginya dan perusahaan. Jika perusahaan kami jual, bagaimana saya bisa melindunginya dari calon pembeli?
Dengan langkah-langkah inilah kita melindungi keluarga dan bisnis kita. Kita semua perlu menjalankan proses serupa. Benarkah waktu Anda sebanyak yang Anda sangka? Tadinya saya mengira begitu, tapi saya lega karena masih bisa bekerja dan berbagi cerita ini kepada Anda.
David Blake adalah anggota 23 tahun MDRT dari Harrison, New York, AS. Hubungi Blake di dblake@insmedinsurance.com.
Temukan materi tentang keberlangsungan bisnis di mdrt.org/decisiontree.