Log in to access resources reserved for MDRT members.
  • Belajar
  • >
  • Memahami perbedaan budaya pada nasabah
Memahami perbedaan budaya pada nasabah
Memahami perbedaan budaya pada nasabah

Memahami perbedaan budaya pada nasabah

Perbedaan latar belakang budaya tidak menjadi penghalang bagi penasihat keuangan untuk memberi pelayanan terbaik kepada prospek dan nasabah. 

TOPIK BAHASAN

Sebagai negara kepulauan yang sangat luas, Indonesia memiliki keanekaragaman budaya. Perbedaan latar belakang yang berbeda bukan jadi penghalang untuk kita dapat hidup berdampingan dan berinteraksi. Sebagai penasihat keuangan yang berasal dari suku Manado, Henokh Christian, anggota MDRT 4 tahun dengan 1 Court of the Table dari Bandung, Indonesia merasa bahwa perbedaan latar belakang suku yang ia miliki dengan prospek dan nasabahnya bukanlah menjadi penghalang dalam proses komunikasi mereka. 

“Saya berasal dari Bandung tapi merupakan keturunan asli suku Manado. Nasabah saya kebanyakan berasal dari etnis Tionghoa tapi hal tersebut tidak menjadi kendala yang besar untuk saya karena saya bisa mempelajari beberapa hal mengenai etnis Tionghoa seperti hari raya mereka. Hal pertama yang saya lakukan ketika akan bertemu dengan prospek atau nasabah yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda dengan saya adalah dengan menyamakan pemahaman yang umum dan penting yaitu bahasa daerahnya. Salah satu cara yang saya lakukan adalah dengan menyapa mereka menggunakan bahasa daerah mereka tentunya harus dilakukan dengan tidak berlebihan dan sealami mungkin. Sebagai contoh, ketika saya akan bertemu dengan nasabah yang berasal dari suku Batak, maka saya akan menyapa mereka dengan menggunakan kata ‘Horas.’ Atau ketika saya bertemu dengan nasabah yang berasal dari suku Sunda, saya akan menyapa mereka dengan menanyakan kabar mereka menggunakan bahasa Sunda ‘kumaha damang?’ Hal tersebut saya lakukan untuk mencairkan suasana. Jika saya akan bertemu dengan prospek untuk pertama kali, saya akan mencari tahu mengenai prospek tersebut agar tidak salah ucap ketika bertemu,” ujar Christian. 

Mempelajari hari raya dari prospek dan nasabah dapat dengan mudah Christian pelajari dari teman-teman yang kebetulan juga satu etnis dengan prospek dan nasabahnya. Sebagai contoh, ia memiliki teman yang berasal dari suku Batak sehingga ia dapat bertanya dan melihat kebiasaan serta proses adat yang biasa dilakukan dalam acara adat Batak. Mempelajari hari raya dari tiap etnis hanyalah salah satu tips yang ia lakukan sebagai Langkah awal dalam proses perkenalan. Menurut Christian, memahami latar belakang budaya nasabah merupakan salah satu kemajuan dalam menjalin hubungan. Baginya, menjalin hubungan harus berdasarkan kepercayaan dan kepercayaan dimulai dari proses saling mengenal terlebih dahulu. 

Menurut Christian, tantangan yang ia hadapi ketika berkomunikasi dengan prospek atau nasabah yang berasal dari latar belakang yang berbeda dengannya adalah adanya perbedaan pola pikir khususnya dalam mengelola keuangan. Menurutnya, nasabah yang sudah lebih dari 25 tahun menjalankan usaha, akan memiliki pola pikir menurut apa yang mereka percaya dalam mengelola keuangan sehingga akan sedikit sulit bagi penasihat keuangan untuk memasukkan ide-ide atau pemahaman baru mengenai pengelolaan keuangan.  

“Untuk mengatasi perbedaan latar belakang antara saya dengan prospek dan nasabah, saya berusaha untuk menerima adanya perbedaan tersebut yang sedikit banyak mempengaruhi pola pikir mereka. Kita ambil contoh salah satu nasabah saya yang berasal dari etnis Tionghoa dan sudah menjalankan bisnis selama lebih dari 25 tahun, tentu akan memiliki pola pikir yang sudah ia percaya selama puluhan tahun. Jika saya sebagai penasihat keuangan tiba-tiba datang dengan ideologi yang saya percaya dalam mengelola keuangan dan meminta beliau untuk percaya dengan ideologi tersebut, tentu saja beliau akan menolak. Saya akan mulai pendekatan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan terbuka seperti bagaimana bapak atau ibu mengelola keuntungan perusahaan? Instrumen apa saja yang bapak atau ibu gunakan untuk menyimpan dana darurat? Apakah bapak atau ibu sudah punya perencanaan pensiun?,” ujar Christian. 

Ideologi yang dimaksud Christian di sini adalah cara berpikir nasabah yang sudah berjalan lama akibat dari kebiasaan. Sebagai contoh, nasabah tidak mau menyisihkan dana untuk asuransi karena sudah terbiasa membeli aset dalam bentuk properti dan logam mulia karena orang tua mereka mengajarkan untuk mengelola keuangan dengan membeli properti dan logam mulia atau emas. Jika demikian, maka Christian akan mengajukan beberapa pertanyaan seperti: Selain investasi di properti dan logam mulia, apakah bapak atau ibu ada investasi di tempat lain? Apakah bapak atau ibu pernah terpikir untuk memberikan proteksi tambahan untuk setiap tabungan yang sudah bapak atau ibu investasikan pada properti dan logam mulia? Setelah nasabah memberikan jawaban, Christian akan sambung dengan edukasi instrumen lainnya dalam pengelolaan keuangan di asuransi, seperti pengetahuan dasar distribusi harta saat tutup usia. 

Christian melihat perbedaan antara ia dan nasabahnya bukanlah sebuah halangan, hal tersebut justru dapat membuatnya lebih mengerti latar belakang setiap nasabah yang tentunya membuat relasi yang ia bina jadi lebih kuat. Ia juga berpesan agar kita dapat belajar dari penasihat keuangan lainnya yang lebih senior atau lebih banyak pengalamannya untuk mempelajari ilmu yang mereka punya. Atau akan lebih baik lagi jika penasihat keuangan dapat belajar dari penasihat keuangan lainnya yang berasal dari daerah yang berbeda untuk lebih memahami bagaimana cara mereka berkomunikasi. Sebagai contoh, ia belajar dari rekan penasihat keuangannya yang punya pengalaman di pengelolaan investasi reksadana, obligasi, dan saham. Hal ini membantu untuk memberikan nilai tambah kepada nasabah sebagai tambahan informasi. Ia juga belajar ilmu mengenai spesialisasi estate planning, sebuah ilmu yang menambah banyak sales talk  dan membuka mindset nasabah. 

Contact: MDRTEditorial@teamlewis.com