Belum dua tahun saya berkiprah, kantor saya menerima pelimpahan nasabah, sebut saja Bapak B. Kami belum pernah bertemu muka, tetapi relasi kami akrab karena cukup sering berbincang melalui telepon. Karena itu pulalah, saya paham apa yang harus saya sampaikan kepada istrinya jika Pak B tiada.
Dulunya guru sains, Pak B berhenti mengajar kemudian membuka toko ritel bersama Bu B. Mereka pertama berkenalan di Nepal saat Pak B menjadi relawan Peace Corps. Setelah menikah, mereka hijrah ke AS dan punya seorang putri, yang saat itu berusia 14 tahun. Baru kenal dua tahun, saya sudah tahu banyak tentangnya. Misalnya, dia sering mengenakan kostum Captain America dan menyambangi anak-anak yatim dampingan badan amal tempatnya menjadi relawan.
Usianya 48 tahun, sehat, dan tak punya penyakit bawaan. Tiba-tiba saja, dia jatuh sakit, walau sepertinya bukan sakit berat. Namun, tak lama kemudian dia diopname, dan tutup usia beberapa hari setelahnya. Saat pemakamannya adalah pertama kalinya saya bertemu Bu B. Kami berjanji akan bertemu tiga pekan kemudian untuk berkenalan dan mengurus klaim polis suaminya. Pak B punya asuransi jiwa seumur hidup senilai $50.000 dan sejumlah uang di rekening dana pensiunnya. Menemui sang janda yang sedang berkabung saja sudah membuat saya kikuk, apalagi saya masih harus menarik premi $2.000 darinya untuk perpanjangan polis asuransi rumah yang lapse beberapa hari sebelum Pak B tiada.
Polisnya dibeli seminggu sebelum Pak B meninggal; pertanggungannya sudah aktif, tetapi preminya belum dibayar. Saat berbincang dengan Bu B di telepon sebelum bertemu muka, saya terpaksa langsung memberitahunya bahwa kami dikejar waktu. Agar manfaat kematian bisa cair, premi $2.000 itu harus dibayar terlebih dahulu. Namun, misi saya yang lebih penting adalah menggali informasi tentang hubungannya dengan mendiang suaminya, bisnisnya, dan prioritas ke depannya. Dia belum pernah beli polis asuransi apa pun, dan sekarang dialah pengambil keputusan untuk perkara keuangan rumah tangga, bisnis beserta belasan karyawannya, dan masa depan putrinya. Saya tahu, saya harus cukup mengenalnya agar bisa memahaminya. Hemat saya, beban pikirannya perlu diringankan, bukan ditambah dengan tuntutan mengambil keputusan yang menguras emosi.
Saya siapkan semuanya terlebih dahulu dan saya sediakan waktu cukup longgar. Pengalaman sebagai guru fisika membuat saya bisa memecah-mecah topik rumit agar lebih mudah dicerna. Untuk urusan asuransi rumah, saya cukup bilang, “Anda butuh asuransi rumah. Coba kita urus selangkah dulu agar beban pikiran Anda berkurang.” Dia paham bahwa dia butuh perlindungan itu.
Kami hitung pendapatan usaha yang dulu mereka hasilkan untuk memastikan dia pertanggungannya cukup menggantikan pendapatan itu untuk karyawan dan putrinya. Lalu saya bertanya, setelah suaminya tiada, bagaimana nasib putrinya andai dia tertimpa kemalangan? Dia paham kebutuhannya, dan kami pun menyepakati polis asuransi jiwa berjangka 20 tahun dengan pertanggungan satu juta dolar. Namun, saudara-saudaranya yang turut menghadiri pemakaman mewanti-wantinya agar waspada. Mereka khawatir saya akan menipunya. Abang iparnya bahkan hadir dalam pertemuan kami untuk mengamati saya. Maka, saya jelaskan kepadanya rekomendasi saya beserta alasannya. Keluarganya bukan tak ramah; mereka hanya berusaha melindunginya, dan saya bisa memaklumi kekhawatiran mereka. Mereka kira saya memaksanya ambil keputusan sementara kondisi psikisnya masih rentan. Namun, demi kebaikannya sendiri, saya tak boleh mengulur waktu. Dia butuh pertanggungan ini sekarang.
Belakangan, Bu B memaparkan kenapa dia tetap mengambil asuransi ini walau keluarganya waswas: karena dia memercayai saya. Dia merasa saya mengupayakan ini semata demi kebaikannya. Dua bulan setelah kepergian suaminya, polis asuransi jiwa Bu B terbit, dan setahun kemudian kami urus asuransi mobilnya serta investasi dana pensiun suaminya. Kini, bisnisnya makin gemilang. Dia resmi jadi warga negara AS dan putrinya sudah kuliah. Beberapa kali setahun, saya bertemu Bu B di tokonya dalam acara-acara yang diadakannya untuk mengenang mendiang suaminya. Tahun lalu, dia dan putrinya menonton konser Genesis, band favorit Pak B, di Inggris. Kini, Bu B sudah saya anggap teman sendiri. Dia berterima kasih karena saya telah membantu menangani banyak urusan rumit sehingga beban pikirannya berkurang dan dia punya waktu menuntaskan duka dan fokus pada tokonya.
Karya amal Pak B juga mengilhami saya untuk berkontribusi bagi warga dan lembaga yang penting baginya semasa hidup. Tak lama setelah kepergiannya, perusahaan saya memperkenalkan rider gratis baru untuk semua polis asuransi kami, yang menambahkan 1% pada manfaat kematian untuk donasi. Saat menjelaskan rider itu kepada nasabah, saya bisa merujuk mereka ke badan amal Pak B dan lembaga lokal lainnya.
Alex Smith adalah anggota tiga tahun MDRT dari East Greenwich, Rhode Island, AS. Hubungi Smith di alex.smith@horacemann.com.