Menangkal cemoohan prospek tentang asuransi
Sepanjang 20 tahun karier saya sebagai penasihat, sudah sering saya menghadapi dan meluruskan berbagai opini negatif dan salah kaprah tentang asuransi jiwa. Kesempatan itu saya manfaatkan untuk mengedukasi prospek dan nasabah tentang pembayaran klaim dan mengapa pertanggungan merupakan investasi untuk melindungi sekaligus membantu keluarga bangkit dari musibah. Meski sudah sering bertemu orang-orang skeptis, ada satu pertemuan dengan prospek pasutri yang sangat berkesan.
Sang istri mengundang saya ke rumahnya untuk mengobrol dan berkonsultasi. Saat dia mengajak suaminya bergabung, sang suami jelas tampak tak suka dengan asuransi sekaligus kehadiran saya di rumah mereka.
“Sudah kubilang, aku tak suka asuransi. Aku baru saja menolak satu agen pagi tadi. Kenapa pula kau malah ajak agen lain kemari?” katanya. “Kuulangi ya, kita tidak beli asuransi! Memangnya kapan uang asuransi bakal cair? Setelah kita mati? Mending kauberikan uangnya kepadaku untuk kubelikan lotre dan uangnya langsung dapat kalau menang, atau kubelikan sapi lagi untuk kujual susunya setiap hari.”
Sambil beranjak ke teras, dia masih sempat menyindir istrinya, “Kalau kau memang sayang padaku, sini uangnya. Mending kubelikan bir dan minum sampai mabuk daripada tetap di sini dan disuruh beli asuransi lalu harus tunggu sampai mati dulu baru dapat uangnya.”
Memang sulit mengambil hati sang suami. Namun, alih-alih menyerah menghadapi penolakannya, saya tersenyum dan mulai bicara dengan lembut.
Saya lihat sang suami duduk tegak, memperhatikan. Dia mulai menyimak. Saya anggap itu tanda pikirannya mulai terbuka.
“Izinkan saya jelaskan dulu program ini kepada Anda berdua. Tak masalah kalau nanti tidak suka,” kata saya.
Sang suami duduk mencibir di teras, tetapi dia masih bisa mendengar suara saya. Saya mulai bicara sepenuh hati tentang arti sejati asuransi. Dengan tulus, jelas, dan singkat, saya sampaikan pengetahuan dan pandangan saya tentang manfaat pertanggungannya. Percakapan kami juga menyentuh urusan pribadi, dan sang istri bercerita bahwa mereka sangat menyayangi cucu-cucu mereka. Nah, informasi itu lantas saya jadikan pijakan.
“Biaya bulanannya rendah sekali,” jelas saya kepadanya. “Cukup sisihkan 5 sampai 10 dong Vietnam setiap hari untuk tabungan pensiun. Andai kata, maaf, Anda meninggal lebih dini, uangnya akan jatuh ke tangan cucu-cucu sebagai warisan.”
Saya lihat sang suami duduk tegak, memperhatikan. Dia mulai menyimak. Saya anggap itu tanda pikirannya mulai terbuka. Lalu, saya bilang dengan nada bercanda, “Uang segitu tak ada imbasnya pada pengeluaran harian Anda. Bapak tetap bisa beli lotre atau sapi seperti katanya tadi. Kalau dia memang berani menghamburkan uang Ibu untuk beli bir, itu juga bisa.”
Suaminya tertawa terpingkal-pingkal. Situasi pun berbalik; awalnya ditolak mentah-mentah, ternyata malah jadi salah satu proses tercepat saya dalam mendapatkan nasabah. Mereka pun membeli asuransi jiwa gabungan. Belakangan, mereka juga menambah plafon manfaatnya dengan membeli pertanggungan tambahan. Sang suami pun begitu senang kepada saya, bahkan memperkenalkan 30 prospek lain yang lantas menjadi nasabah saya.
Nyugen Thi Thu Dung adalah anggota lima tahun MDRT dari Ho Chi Minh City, Vietnam. Hubungi Dung di ltn.diep@prudential.com.vn.