Log in to access resources reserved for MDRT members.
  • Belajar
  • >
  • Cara agar mereka (karyawan Anda) betah
Cara agar mereka (karyawan Anda) betah
Cara agar mereka (karyawan Anda) betah

Mei 01 2024 / Round the Table Magazine

Cara agar mereka (karyawan Anda) betah

Cara-cara pintar untuk berdayakan, bekali, dan meretensi staf.

Topik bahasan

Apa yang penting bagi Anda? Anda perlu waktu untuk apa?

Pertanyaan seperti itu pasti sudah sering Anda ajukan kepada nasabah. Tapi apakah Anda juga menggali tentang hal yang dianggap penting oleh staf dan cara mendukung mereka? Boleh jadi, itulah yang akan membuat mereka betah.

Waktu fleksibel

Jamie McIntyre, CFP, mulai memikirkan hal yang berarti, tidak hanya bagi nasabah, tetapi juga timnya, saat ia membrand ulang bisnisnya pada 2016 untuk beralih fokus dari produk keuangan ke jasa perencanaan. Anggota 13 tahun MDRT dari Newtown, Victoria, Australia, ini merespons dengan tawaran perencanaan keuangan gratis sebagai manfaat karyawan.

Namun, baru ketika beralih ke mode kerja jarak jauh pada masa pandemilah McIntyre menyadari arti penting fleksibilitas bagi timnya, yang terdiri atas seorang manajer layanan pelanggan purnawaktu dan istrinya sendiri, Susan, staf pendukung layanan pelanggan paruh waktu. Jadi, ia mengubah jadwal tetap jam kantor dan mendorong manajer layanan nasabahnya, seorang single mom, untuk pulang lebih awal dan masuk lebih siang agar bisa mengantar-jemput anak sekolah, berobat ke dokter, dan keperluan terkait keluarga lainnya.

“Kami menghargai tim dengan memahami hal yang mereka hargai. Dia tidak meminta gaji lebih tinggi. Dia lebih memilih bisa punya waktu untuk keluarga dan saya tahu dia tetap bertanggung jawab,” kata McIntyre, sembari mengimbuhkan bahwa timnya mengerti mereka harus bekerja ekstra di masa-masa sibuk pada bulan Maret/April dan Oktober/November. “Kita semua bertanggung jawab memastikan diri dan orang-orang di sekeliling kita bisa hidup sebagai manusia seutuhnya. Itu prinsip yang saya junjung.”

Joshua John McWilliam, CFP, FMA, anggota 19 tahun MDRT dari Moncton, New Brunswick, Kanada, memiliki tujuh orang staf, termasuk empat staf admin dengan masa bakti berkisar dari beberapa hingga 15 tahun. Tanggung jawab untuk kedua asisten yang bekerja langsung dengannya telah dibagi dengan jelas antara tugas untuk dilaksanakan sebelum bertemu nasabah dan setelahnya. Mereka bertanggung jawab penuh atas cara dan waktu penuntasan tugas-tugas itu. McWilliam tidak ambil pusing tugas-tugas itu diselesaikan di kantor, di rumah, atau pada jam kerja biasa.

Fokus saya bukan pada jumlah jam kerja yang mereka gunakan. Melainkan pada pemenuhan tanggung jawabnya.
—Joshua McWilliam

“Fokus saya bukan pada jumlah jam kerja yang mereka gunakan. Melainkan pada pemenuhan tanggung jawab dan hasilnya. Saya rasa pengawasan karyawan yang terlalu ketat hanya akan membuat mereka tidak betah,” ujar McWilliam.

Memang, kantornya dahulu memberlakukan kebijakan libur maksimal tiga hingga empat pekan untuk staf, yang akhirnya diubah jadi tak terbatas. Staf boleh cuti kapan saja, selama yang dibutuhkan, dengan ketentuan tidak dilakukan secara bersamaan sehingga di kantor tetap ada yang siaga. Keempat orang stafnya itu mengelola sendiri jadwalnya, termasuk giliran piket Jumat siang supaya paling tidak ada satu dari mereka yang berada di kantor.

“Kebijakan itu tidak pernah disalahgunakan, dan kami perhatikan jumlah rata-rata hari cuti jauh lebih rendah dari saat kebijakan lama masih berlaku,” kata McWilliam. “Rasa tanggung jawab terhadap sejawat ini menghadirkan ikatan tim yang lebih erat. Mereka aktif berkomunikasi dan saling bantu.”

Roy John Hall, ADFP, CCFP, memiliki tujuh orang staf, termasuk empat admin dengan masa kerja berkisar dari enam hingga 12 tahun. Ia pun tidak menetapkan jam kerja wajib sehingga karyawan, khususnya yang memiliki anak usia sekolah, punya jam kerja fleksibel dan bisa kerja jarak jauh.

“Mereka boleh pulang lebih awal atau mengambil waktu jeda dan, kami tahu, pada akhirnya semua beres juga,” kata anggota 19 tahun MDRT dari Hope Island, Queensland, Australia, ini.

Uang dan bonus pemacu semangat

Selain angka gaji yang 30-40% di atas rata-rata pasar, cara lain Hall dalam meretensi staf adminnya adalah insentif bulanan berdasarkan persentase bisnis baru yang dihasilkan dari konversi prospek menjadi nasabah. Tambah lagi, pendapatan dari nasabah lama yang meneken kontrak retensi tahunan sesuai aturan badan regulasi dan melanjutkan programnya juga masuk hitungan upah ekstra ini. Bonus-bonus ini biasanya sebesar rerata $1.500 sampai $2.000, dan pada bulan ramai bisa sampai $4.000 per karyawan. Jadi, para staf admin — yang ditatar dan belajar dengan menemani Hall saat bertemu nasabah dan melihat langsung praktiknya — giat memastikan kelancaran proses administrasi dan aktif menghubungi nasabah untuk melengkapi informasi, memastikan jadwal, menangani pertanyaan, dan menyiapkan case untuk Hall.

“Mereka ingin perusahaan ini sukses. Saya sudah melakukan bagian saya di depan nasabah, dan mereka ingin sebisa mungkin mengegolkan case-nya karena jika orang itu menjadi nasabah, kami semua menerima upah,” kata Hall. “Mereka menuai hasil dari kerja keras yang telah saya lakukan dan sedang mereka lakukan.”

Mereka ingin perusahaan ini sukses.
—Roy Hall

Bonus-bonus lainnya: acara makan siang sambil menonton pacuan kuda di arena Piala Melbourne tiap tahun dan pesta Natal mewah, yang pernah digelar sambil berpesiar empat hari di sepanjang pesisir barat, pulang-pergi Brisbane-Sydney. Hall dan McWilliam juga menawarkan perencanaan pensiun gratis untuk staf mereka. Meski pemberi kerja di Australia diwajibkan memotong 11% dari gaji karyawan untuk dana pensiun pribadi, Hall menambah lebih dari kontribusi wajib tersebut. Pemberi kerja di Kanada biasanya berkontribusi 3% dan 5% dari yang disetorkan karyawan ke rekening dana pensiun mereka. McWilliam memberikan 9%, di samping asuransi gigi dan kesehatan.

“Kami ini perencana pensiun. Jadi, saya ingin staf kami bisa pensiun dengan posisi finansial aman. Saya merasakan tanggung jawab itu, dan dari situ timbul pola pikir serta komitmen jangka panjang yang sangat berarti,” kata McWilliam.

Bakti untuk masyarakat

Berbagai studi dan survei menyimpulkan bahwa cuti berbayar untuk kerja sosial membuat karyawan merasa jadi bagian dari misi mulia, yang menunjang loyalitas pada perusahaan. Tiap kuartal Hozumi Hanada, LUTCF, anggota 18 tahun MDRT dari Monrovia, California, AS, membawa 24 orang stafnya untuk terjun ke masyarakat. Beberapa tahun terakhir, mereka menjadi relawan di Foothill Unity Center, yang berfokus pada layanan pangan, penanganan krisis, lapangan kerja, hunian, dan layanan tuna-wisma bagi mereka yang membutuhkan.

Bakti sosial ini diprakarsai pada 1992 oleh pendiri kantor praktik tersebut, Stephen Kagawa, FSS, LUTCF, anggota 31 tahun MDRT kelahiran Hawaii, berdasarkan prinsip aloha (kasih dan hormat), berbuat dengan pono (kebajikan), bersikap imua (proaktif), memperlakukan sesama layaknya ohana (keluarga), dan diawali dengan mahalo (syukur). Penautan tujuan bisnis di kantor, yang melayani sekitar 500 nasabah dari komunitas penutur bahasa Jepang, dengan andil sosial di masyarakat telah menambah soliditas tim dan tingkat retensi.

Kami ingin para sejawat mengerti arti penting bakti untuk negeri dengan terlibat langsung dalam aksi sosial.
—Hozumi Hanada

“Kami ingin para sejawat mengerti arti penting bakti untuk negeri dengan terlibat langsung dalam aksi sosial,” kata Hanada.

Saat makan siang bersama setelah kegiatan, semua berbagi cerita dan perasaan mereka.

“Banyak yang sampai menitikkan air mata. Kini, sebagian staf menyumbangkan waktu mereka sebagai relawan di badan sosial. Karyawan sungguh merasakan wujud nyata prinsip yang dipedomani perusahaan,” kata Hanada, sambil menambahkan bahwa kantornya menyertai donasi karyawan ke badan amal. “Kami dibentuk jadi insan yang lebih baik dan taraf keterlibatan mereka pun meningkat.”

Peduli dan mengerti

Tim admin boleh jadi merasa terbelenggu tugas-tugas tata usaha yang mereka pikul. Dengan tiga orang staf yang membantu 17 penasihat dan 500 nasabah (pra-)pensiunan, Andrew Tice, FIC, anggota enam tahun MDRT dari Hurst, Texas, AS, tahu mereka mungkin tidak merasa jadi bagian dari hal yang lebih besar dari sekadar kerja kantoran.

Setelah suatu proses klaim jiwa yang berliku — dan dialog hati ke hati dengan istrinya tentang beban di pundak pasangan yang ditinggalkan — Tice menimbang untuk tidak sekadar memberi tahu para asistennya apa yang terjadi saat ia kembali ke kantor. Ia mulai mengajak staf ke janji temu supaya mereka bisa lebih dekat dengan nasabah dan menyadari arti penting peran pendukung yang mereka emban. Kali pertama Tice mengajak asistennya, staf tersebut meyakinkan istri mendiang nasabah bahwa dia tidak sendiri dan memintanya menghubungi jika perlu dibantu.

“Saya tersentak melihat kepeduliannya, dan perhatian yang dia berikan setelah itu mengingatkan saya alasan kita menjalani profesi ini,” kata Tice. “Bila nasabah komplain atau sedang gusar, pengalaman lapangan itu membantu tim untuk berempati dan menunjukkan bahwa kami peduli.”

Sikap welas asih semacam itu bisa meningkatkan kepuasan nasabah, sekaligus berdampak positif bagi kantornya. Staf lebih mengerti tentang dampak dari pekerjaannya dan bersikap lebih hormat terhadap nasabah yang belum mereka jumpai. Seiring meluasnya wawasan mengenai kerja Tice, mereka pun mengusulkan masukan dan ide untuk efisiensi tugas kantor dan efektivitas komunikasi.

“Orang yang percaya pada pekerjaannya akan bekerja dengan hasrat yang jauh melebihi pidato motivasi apa pun,” ujarnya. “Jika peduli pada orang yang Anda layani, tidak mudah untuk pergi dan pindah begitu saja.”

Berdaya maka merasa memiliki

Sepuluh tahun lalu, seorang nasabah menelepon kantor Michael Joseph Haggerty, CPCA, CFP, anggota 16 tahun MDRT dari Fredericton, New Brunswick, Kanada, untuk bertanya apa bentuk permohonan maaf atas kesalahan dari pihak kantor dan diminta untuk menunggu respons dari Haggerty. Nasabah tambah jengkel karena harus menunggu dua hari. Sejak itu, Haggerty membuat kebijakan pemberian wewenang kepada enam orang stafnya, yang melayani 2.500 nasabah keluarga dan pemilik usaha, untuk mengeluarkan biaya wajar sebagai ungkapan tata krama.

Bila nasabah komplain atau sedang gusar, pengalaman lapangan itu membantu tim untuk berempati dan menunjukkan bahwa kami peduli.
—Andrew Tice

“Kebijakan baru ini menegaskan bahwa cara pandang staf terhadap situasi sama pentingnya dengan yang lain,” kata Haggerty. Staf diberdayakan untuk memberikan gift card $25 atau $50 sebagai bentuk terima kasih atas referensi. Bisa pula untuk memesan bunga untuk seorang wanita yang datang ke kantor dalam keadaan berduka karena kematian suaminya dan suami temannya (wanita ini direferensikan oleh temannya itu dan kemudian menjadi nasabah). Pernah juga, sebagai kartu ucapan terima kasih dan gift card untuk wanita yang mengantar ibunya, yang tidak dapat mengemudi, ke kantor untuk janji temu.

“Saya sendiri tidak terpikir untuk berterima kasih kepada putrinya itu, tapi dengan cemerlang staf resepsionis saya, Travis, menanamkan kesan ‘Hebat juga, padahal aku bukan nasabah,’” kata Haggerty. “Kebijakan ini adalah pernyataan sikap tanpa-manajemen-mikro saya dan, jika staf merasa suatu hal itu penting, maka hal itu penting. Rasa memiliki mereka pun bertambah kuat.”

Penghargaan bermakna

Gary F. Heuer, FICS, menggunakan gift card dan kartu ucapan dengan agak berbeda.

Bertahun-tahun silam, anggota 32 tahun MDRT dari Lake Oswego, Oregon, AS, ini menerima kartu ucapan tulis tangan dari nasabah yang ia bantu dengan program anuitas, dan Heuer ingin melakukan hal serupa untuk stafnya. Lahirlah konsep kartu “kulihat kerjamu bagus”. Setelah seorang nasabah memberi tahu Heuer bahwa asistennya ringan tangan dan sabar mendampingi di proses perubahan ahli waris, ia memuji staf itu dengan kartu apresiasi yang diselipi gift card Starbucks.

“Sentuhan kecil seperti itulah yang membuat staf jadi betah. Jika tidak begitu, staf tidak tahu bahwa nasabah kita memuji kinerjanya. Bonus boleh saja, tapi hal-hal kecil juga berarti,” ujar Heuer, yang melayani 350 nasabah dengan satu admin purnawaktu dan satu admin paruh waktu.

Saat asisten yang telah lima tahun bekerja untuknya bercerita bahwa tripnya sepekan ke Denver bersama suami bakal mahal, Forrest DeBuys III, CLU, ChFC, menggunakan frequent-flyer miles-nya untuk membelikan tiket pesawat. Ia tidak keluar uang untuk ungkapan apresiasi itu dan stafnya jadi hemat $1.000.

“Tiket PP muncul di ponselnya, dan dia bilang, ‘Pak, ini apa?’” kata anggota 25 tahun MDRT dari Birmingham, Alabama, AS, ini. “Dia senang dan sangat berterima kasih. Saya yakin, untuk karyawan baik di usaha kecil, bentuk apresiasi yang unik dan khas seperti itu efektif dalam meretensi SDM dan meningkatkan semangat kerja.”

Saat Shawn R. Bjornsson, CPCA, tahu asisten yang telah 20 tahun bersamanya berencana pesiar dua pekan dengan keluarga, anggota 26 tahun MDRT dari Winnipeg, Manitoba, Kanada, ini memberinya bonus untuk ‘tambahan’ biaya wisata”

Sentuhan kecil seperti itu yang membuat staf jadi betah. Bonus memang bisa, tapi hal-hal kecil juga berarti.
—Gary Heuer

“Orang ingin bekerja di tempat yang menghormati waktunya dan yang berkomunikasi serta memperlakukannya dengan baik,” kata Bjornsson. “Staf saya ini karyawan bagus, dan saya tidak ingin dia pindah.”

Untuk ihwal wujud penghargaan, Haggerty sudah selangkah di depan. Asisten utamanya yang telah enam tahun bekerja sudah lama ingin merenovasi teras panggung rumahnya. Tapi ia tahu, kalau diberi bonus untuk mendanai proyek itu, uangnya akan dipakai untuk kebutuhan anaknya. Jadi, ia meminta nasabahnya, yang juga seorang kontraktor, untuk mengerjakan proyek itu atas biaya darinya.

“Itu menunjukkan bahwa saya tahu betul hal yang berarti bagi karyawan,” katanya, sembari menambahkan ia juga memberi bonus untuk menutup biaya pajak atas proyek renov itu. “Hal-hal kecil ini menunjukkan kepedulian kita pada pekerja.”

Manfaat timbal-baliknya pun ada bagi pemberi kerja. Saat Haggerty bertanya kepada Travis mengapa dia memberikan gift card kepada putri nasabah, stafnya itu berkata bahwa kesan baik yang tertanam “baik untuk kita”.

“Kalau sudah di titik ‘baik untuk kita’, Anda menang,” kata Haggerty. “Dia memandang perusahaan sebagai ‘kita’.”

Saran untuk strategi retensi

Selama bertahun-tahun, Jason L. Smith banyak melihat penasihat hebat keluar untuk membuka kantor sendiri atau bekerja di kantor lain. Anggota 19 tahun MDRT dari Westlake, Ohio, AS, ini sadar ia tak boleh lagi melatih calon pesaingnya sendiri. Maka, ia pun menyusun proses retensi karyawan.

“Saat itu, kantor saya tak ada jenjang karier. Jadi, saya buat dan tunjukkan bahwa ada jalur yang bisa mereka jalani hingga sampai di level partner,” kata Smith.

Ia merancang strategi retensi dengan gambar sederhana: tangga dengan lima jenjang. Gambar itu ia tunjukkan kepada kandidat dan rekrutan baru sebagai ilustrasi jenjang karier yang dapat ditapaki di perusahaan. Jenjang pertama adalah staf layanan nasabah, posisi awal dengan tanggung jawab kerja admin sebelum dan sesudah janji temu. Jenjang kedua masih tergolong posisi admin, tapi karyawan lebih banyak menangani kerja paraplanner sembari mengejar gelar profesi atau lisensi perencana keuangan.

Di jenjang ketiga, mereka mulai menghadapi nasabah, sebagai penasihat junior yang duduk di samping penasihat senior serta menangani nasabah dan prospek yang lebih kecil.

“Mereka akan memperhatikan dan belajar dari Anda dan meringankan tugas Anda karena sudah diajari cara mengerjakan semua tugas-tugas administrasi di jenjang paraplanner. Mereka mencatat dan melakukan uji tuntas, dan Anda jadi lebih leluasa melayani nasabah sembari mementori mereka lewat metode berdampingan ini,” kata Smith.

Penasihat senior adalah jenjang keempat, dan jenjang kelima, yaitu partner, merupakan golongan elitenya.

“Mereka ini jagoannya, yang terbaik. Merekalah orang-orang yang ingin Anda tarik, tahan, dan anugerahi. Ibarat memborgol dengan gari emas, Anda tak ingin mereka pergi. Punya gambaran jenjang karier dan program pembinaan untuk penasihat sungguh menambah daya saing kita di hadapan tenaga kerja,” kata Smith. “Mereka tahu sedang berada di jenjang mana dan bagaimana cara naik ke jenjang berikutnya. Untuk urusan naik jabatan, semua jelas dan tanpa favoritisme karena syarat yang perlu dipenuhi untuk naik jenjang karier sudah terpentang dengan benderang.”

Seorang penasihat yang awalnya bekerja untuk Smith sebagai mahasiswa magang dengan upah $10/jam menapaki tangga karier itu dan kini telah menjadi partner, pemegang 20% saham perusahaan.

“Tunjukkan masa depan yang lebih besar bersama Anda kepada calon atau penasihat Anda saat ini. Tidak perlu keluar untuk menjadi partner. Tidak perlu membuka kantor sendiri untuk meraih income yang diidamkan. Tidak perlu berpisah untuk itu. Tunjukkan bahwa mereka bisa melakukannya dengan tetap bersama Anda,” kata Smith.

KONTAK

Shawn Bjornsson shawn@fourpointsfinancial.com
Forrest DeBuys fdebuys@ft.newyorklife.com
Michael Haggerty michael.haggerty@lsfg.life
Roy Hall roy@hallfinance.com
Hozumi Hanada hhanada@thepacificbridgecompanies.com
Gary Heuer garyheuer@pinnaclef.com
Jamie McIntyre jamie@macfinancialadvice.com.au
Joshua McWilliam josh@rpsfinancial.ca
Jason Smith jsmith@c2penterprises.com
Andrew Tice andrew.tice@kofc.org