Pelibatan dini anggota keluarga dalam dialog konsultasi penasihat dan nasabah tidak hanya akan mencegah terjadinya masalah, tapi juga bantu menarik nasabah generasi berikutnya. Mereka biasanya luput dari perhatian karena besarnya komitmen waktu dan kecilnya imbalan finansial, setidaknya di fase awal. Namun, relasi akrab dengan mereka bisa memastikan kelanjutan bisnis dan meretensi aset yang diwarisi. Penasihat yang menyadari potensi ini menjadikan rapat keluarga bagian reguler dari praktik kerjanya dan menerapkan aneka taktik untuk merintis era bisnis yang baru.
Tepat memulai
James J. Silbernagel, LUTCF, CFP, anggota 30 tahun MDRT dari Kewaskum, Wisconsin, AS, mewajibkan rapat tersebut agar para anggota keluarga, khususnya yang para pemegang kuasa dan pelaksana wasiat, “bisa mengenal kami dalam situasi yang tidak menekan.”
Menurut Silbernagel, penasihat kehilangan peluang besar jika terpaku pada orang tua dan melewatkan anak-anak mereka sebagai calon nasabah.
“Banyak penasihat berkata, ‘Saya tidak urus anak-anak nasabah karena dana mereka belum cukup’,” katanya, sembari menambahkan bahwa 90% anak nasabah akhirnya meninggalkan penasihat orang tuanya. “Kerja keras saya mubazir jika peluang saya biarkan lolos dari genggaman.”
Silbernagel mulai mewajibkan rapat keluarga sekitar 10 tahun lalu. Namun, dulu kendala utamanya adalah sulitnya menjadwalkan pertemuan. “Banyak nasabah saya petani dengan keluarga besar. Cukup sukar mengatur jadwal yang pas untuk semuanya,” katanya.
Meski Silbernagel lebih menyukai temu tatap muka, penerapan temu virtual semasa pandemi telah memudahkan penjadwalan rapatnya. Kurangnya komunikasi adalah pangkal keretakan keluarga. Maka, Silbernagel mendahulukan penetapan peran-peran utama seperti pemegang kuasa dan pelaksana wasiat. Ia juga menyediakan lebih dari dua lusin topik diskusi untuk dipertimbangkan dan meminta anak-anak nasabah ikut memastikan orang tua mereka aktif dalam prosesnya.
“Tata tertibnya ditetapkan di rapat keluarga perdana,” katanya, sambil menekankan bahwa di rapat perdana ini seluruh keinginan nasabah dijabarkan. “Boleh saja itu semua tertuang di atas kertas, tapi akan lebih mengena jika dibahas langsung.”
Itu berarti, isu-isu seperti liburan keluarga dan warisan ikut dibahas. Silbernagel bertanya apa mereka berlibur setiap tahun dan ingin tetap melakukannya. Ia juga mengulik topik-topik seperti uang warisan untuk cucu: “Mereka ingin cucu langsung menerima uangnya, atau hanya boleh dipakai untuk dana kuliah? Dan boleh langsung dipakai untuk kuliah ataukah ada syaratnya?” tanya Silbernagel.
Dialog awal ini membangun rasa dekat dan nyaman dengan penasihat, yang kerap menjadikan generasi penerus nasabah di kemudian hari, katanya. “Jadi lebih lancar karena mereka sudah kenal dan tidak lagi menyangsikan Anda,” katanya.
Bagi Kathleen R. Benjamin, CFP, CPA, anggota 20 tahun MDRT dari Maugansville, Maryland, AS, pelibatan anak dalam perencanaan keuangan berarti memahamkan mereka akan tujuan dan penataan rencana keuangan orang tuanya.
“Jika rencananya dipahami secara komprehensif, mereka akan menghargai pekerjaan dan kepedulian kita,” katanya. “Hubungannya jadi mirip seperti mitra, dan bukan relasi transaksional.”
Makin besar nilai yang Anda suguhkan, makin mungkin mereka tetap menjadi nasabah Anda. Benjamin berkata, biasanya, dialog pertamanya dengan anak-anak nasabah terjadi saat si anak mulai terjun ke dunia kerja dan butuh informasi terkait manfaat dan tunjangan, termasuk program pensiun dari perusahaan. Lalu, saat mereka menikah atau membeli rumah, penasihat biasanya mulai membahas asuransi jiwa dan asuransi ketidakmampuan. Semua upaya membina relasi dengan anak-anak nasabah ini juga bisa membantu meretensi aset kelolaan.
“Begitu mereka punya rumah atau komitmen finansial tertentu, atau berumah tangga, saat itulah kita perlu mengedukasi dan memberi pengertian lebih tentang, misalnya, potensi kehilangan rumah karena ketidakmampuan bekerja,” katanya.
Jaga koneksi
Dini dalam melibatkan anak nasabah hanyalah langkah pertama merintis bisnis dari nasabah generasi berikutnya.
Bertahun-tahun lalu, Kathy Kueider, CLU, ChFC, anggota 30 tahun MDRT dari High Point, North Carolina, AS, belajar bahwa, untuk menjalin relasi dengan nasabah muda, kita perlu terjun ke media sosial.
“Saya mulai menghubungi nasabah untuk mencari informasi tentang anak mereka dan meminta izin untuk terhubung dengan si anak di media sosial,” katanya. “Ide ini sudah lebih dari 10 tahun, tapi tetap efektif dalam menjalin koneksi dengan generasi penerus yang akan mewarisi kekayaan setelah orang tua tutup usia.”
Biasanya, ia menghubungi via Facebook atau LinkedIn dengan pesan sederhana: “Tadi saya baru saja bertemu orang tua Anda — kata mereka, karier Anda cemerlang. Jika ada pertanyaan tentang perencanaan keuangan, jangan sungkan, ya. Siapa tahu saya bisa membantu. Ditunggu koneksinya, ya. Terima kasih.”
Begitu nasabah menginjak usia tertentu, ia meminta nasabah untuk didampingi sedikitnya satu orang anak yang sudah dewasa saat pertemuan. Komunikasi ia jaga dengan sesekali mengirim pesan dan meminta izin untuk menelepon sebentar atau berbagi artikel soal investasi dana pensiun atau dampak dari bunga majemuk yang, menurutnya, merupakan “keajaiban dunia kedelapan.”
“Jika Anda rutin memposting di media sosial, mereka pasti akan melihat konten Anda. Itu cara bagus untuk menyuguhkan ide dan agar tetap diingat nasabah,” katanya.
Mark E. Friese, CMFC, anggota 26 tahun MDRT dari Libertyville, Illinois, AS, menggunakan pendekatan serupa, mencermati nasabah generasi berikutnya di Facebook. “Jadi mudah sekali untuk menghubungi dan menjalin koneksi pribadi,” katanya.
Jika anak nasabah baru dapat momongan, misalnya, Friese akan mengirimkan ucapan selamat dan informasi tentang tabungan dana kuliah. “Itu akan menunjukkan bahwa Anda memperhatikan,” ujarnya.
Friese juga mengirim ucapan duka cita saat nasabah kehilangan hewan peliharaannya.
“Kami menyumbang ke Humane Society untuk mengenang hewan peliharaan mereka, dan mengirimkan kartu ucapan,” jelasnya. “Tindakan itu sangat berarti bagi mereka.”
Friese juga menggunakan Constant Contact, sistem manajemen konten basis data yang mengingatkannya dan staf untuk mengirim pesan berkala sesuai kelompok usia. Jika nasabah berusia 20an tahun, mereka mungkin tidak menghiraukan info tentang Jaminan Sosial, misalnya.
“Tapi yang usianya 60 mungkin menganggap info tersebut berguna,” katanya. “Itulah bagusnya Constant Contact. Data kontak dikelompokkan ke subkategori tertentu dan pemasarannya disesuaikan dengan subkategori itu.”
Sesuaikan strategi
Saat menjalin kedekatan dengan anak-anak nasabah, akan efektif jika ada rekan di tim Anda yang usianya sebaya mereka. Beberapa tahun lalu, Friese merekrut penasihat yang mudah akrab dengan nasabah berusia 20an tahun.
“Harus bisa beradaptasi dengan gaya mereka,” jelas Friese. “Mereka lebih suka pesan singkat, jadi kami harus menggunakan aplikasi pengirim pesan agar bisa diarsipkan untuk tujuan kepatuhan.”
Selain aplikasi pengirim pesan, Friese mendekati nasabah muda dengan aplikasi yang disediakan lewat perusahaan investasi tempatnya menjadi penasihat manajemen pihak ketiga. Tidak ada batas dana minimal untuk membuat akunnya, dan itu memudahkan nasabah yang asetnya masih minim, katanya.
“Mereka bisa memantau rekeningnya di aplikasi itu, jadi dari situ kami bisa terhubung,” katanya.
Benjamin sepakat bahwa penasihat muda adalah faktor kunci retensi nasabah muda. Ada penasihat yang lebih memilih tidak berurusan dengan nasabah muda yang baru membangun masa depan finansialnya, tapi senada dengan Silbernagel, menurutnya itu berarti melewatkan rezeki. Merekrut penasihat muda itu penting sehingga, saat anak-anak nasabah masuk, ada penasihat yang segenerasi dengan mereka.
Benjamin sepakat bahwa penasihat muda adalah faktor kunci retensi nasabah muda. Ada penasihat yang lebih memilih tidak berurusan dengan nasabah muda yang baru membangun masa depan finansialnya, tapi senada dengan Silbernagel, menurutnya itu berarti melewatkan rezeki. Merekrut penasihat muda itu penting sehingga, saat anak-anak nasabah masuk, ada penasihat yang segenerasi dengan mereka.
Ia juga menggunakan peraga visual pohon keluarga untuk menjelaskan peran-peran dari tiap anggota keluarga di dalam kehidupan nasabah, serta andil dari anggota keluarga dalam rencana keuangan nasabah. Saat mengisi pohon keluarga ini, ia berkata kepada nasabah, “Kami ingin tahu siapa saja yang Anda tanggung, yang bisa meninggalkan uang untuk Anda, atau apa kewajiban Anda sebagai pihak penanggung jawab atas diri orang lain,” katanya. “Tujuannya untuk mengidentifikasi orang-orang di sekitar mereka juga.”
Itu berarti, informasi kontak, tempat tinggal, dan tanggal lahirnya juga dicatat. Dokumen ini dokumen hidup yang ditinjau tiap tahun untuk mengetahui ada tidaknya perubahan peran atau info lainnya.
Lebih mengenal diri nasabah dan para pengambil keputusan dalam hidup mereka dapat berujung perkenalan dengan nasabah generasi berikutnya. Nasabah yang ingin mengenalkan Benjamin ke anggota keluarganya berkata, “Saya rasa peran Anda akan bermanfaat bagi mereka.” Selain itu, strategi ini juga bisa bantu meretensi aset.
“Itu yang jadi pusat perhatian saat ini, di tengah-tengah populasi yang kian menua — mampukah Anda meretensi aset kelolaan tersebut?” kata Benjamin.
KONTAK
Kathleen Benjamin kbenjamin1017@gmail.com
Mark Friese mfriese@friesefinancial.com
Kathy Kueider kathy.kueider@lplfinancial.com
James Silbernagel jsilbernagel@sgadvisor.net