Carey Joshua Jackson IV, MBA, bergabung dengan Garda Nasional Angkatan Darat A.S. dengan tujuan menjadi perwira dan dinas tetap. Sang tamtama akhirnya naik pangkat menjadi sersan, hingga letnan kolonel dan menjabat perwira staf di Divisi Polisi Militer. Dalam prosesnya, anggota tiga tahun MDRT dari Troy, Michigan, AS, ini juga membimbing dan mengajar sebagai instruktur ilmu militer di beberapa program Korps Pelatihan Perwira Cadangan di Michigan.
Tapi setelah 15 tahun di Garda Nasional AD, ia mulai memikirkan kembali jalan kariernya. Sebelum meraih gelar sarjana ilmu militer dan kepemimpinan strategis, ia sudah menjalani dan akhirnya meraih gelar sarjana di bidang keuangan.
“Saya sadar saya kuliah ilmu keuangan, tapi belum pernah berkarya di bidang yang sangat saya sukai dan gandrungi ini,” katanya. “Biasanya, kalau lama berdinas di militer, kita sibuk mengejar karier dan, tanpa sadar, usia sudah 60, harus pensiun, dan belum berbuat apa-apa di bidang atau keahlian yang ditekuni.”
Tapi ada keterampilan yang rutin ia praktikkan sebagai prajurit Garda Nasional — kepemimpinan, disiplin, fokus membidik target, dan perhatian pada detail — yang bisa ia terapkan sebagai penasihat keuangan. Sebagai perwira AD, ia bertanggung jawab memenuhi kebutuhan administratif, perencanaan, dan proyeksi kebutuhan unitnya, serta sering mencermati metrik relevan untuk membuat dan menjaga tren positif. Semua atribut dan pengalaman tersebut berguna di profesi yang menuntut konsistensi dalam memprospek, kecermatan melayani nasabah, dan pemenuhan target kinerja seperti jumlah nasabah dan aset kelolaan.
“Saya tahu saya ingin menjadi penasihat, dan saya tidak mau usia telanjur lanjut, tenaga telanjur loyo, pensiun telanjur dekat, dan keterampilannya tidak didapat,” kata Jackson. “Jadi, saya putar haluan, meninggalkan karier ketentaraan, mengambil lisensi penasihat, dan berusaha mengawali karier yang baru.”
Penasihat itu harus proaktif, dan Jackson sudah punya tabiat tekun menuntaskan target dan tugas di militer. Begitu meraih lisensinya, ia mencari dukungan dan bimbingan di perusahaan asuransinya untuk terus belajar – persis seperti saat ia mengambil manfaat GI Bill untuk melanjutkan studi dan membayar uang kuliahnya dulu.
“Harus tahu apa yang tersedia dan mau memanfaatkannya. Begitu banyak perusahaan yang membuka kesempatan dan manfaat – penghasilan salah satu yang terbesar – karena jumlah yang bisa digapai tidak ada batasnya,” ujar Jackson.
Prajurit garda nasional pensiun lebih cepat dari warga sipil, dengan usia pensiun tipikal 60 tahun untuk mulai menerima uang pensiunnya. Jadi, mereka perlu merencanakan masa purnabaktinya. Jackson memahami tantangan khas yang dihadapi para prajurit karier. Maka, kalangan ini menjadi target pasar alaminya.
“Mereka mungkin purnabakti dengan gangguan kesehatan saat mendekati usia 60 atau 70. Jadi, saat karier kemiliterannya berakhir, mereka tidak dapat bekerja dikarenakan kondisi kesehatannya itu. Mungkin mereka mengalami gangguan stres pascatrauma sehingga tidak bisa bekerja. Jadi, penting sekali untuk memiliki asuransi jiwa saat masih berdinas dan sehat,” kata Jackson.
Kalangan tentara mungkin kaget mendengar mereka butuh asuransi karena sudah memiliki aneka manfaat seperti perawatan medis yang ditanggung pemerintah dan pinjaman KPR berbunga rendah saat masih berdinas dan saat menjadi veteran. Jackson berpesan bahwa lebih banyak opsi lebih baik.
“Mungkin tujuannya dana pensiun dalam jumlah tertentu dan mendanai tabungan kuliah,” katanya. “Mungkin tidak bisa dua-duanya, jadi kita harus mendahulukan yang terpenting. Mungkin kita bisa membiayai dua tahun pertama kuliah atau menambahi dengan dana lainnya. Para veteran militer sudah berorientasi pada tujuan. Tinggal mencari tahu tujuannya, merangkai prosesnya, dan mendorong nasabah untuk memandang perencanaan keuangan dari perspektif orientasi pada tujuan.”
Proses penjualannya meniru model perintah operasi, sebuah rencana tertulis untuk mengarahkan unit dalam pelaksanaan misi. Jackson sudah banyak menuliskan perintah seperti itu, yang disusun ke dalam lima paragraf. Dokumen utuhnya bisa tebal atau dilengkapi puluhan lampiran yang kesemuanya menguraikan gambaran umum misi ke beberapa tahapan. Proses Jackson pun menguraikan gambaran umum tersebut.
“Jika memahami konsep gambaran umum dari operasinya sebelum beraksi, kita sadar seorang penasihat wajib memprospek, dan prospecting itu tak ada habisnya,” katanya.
Dari situ, operasinya – atau relasi nasabahnya – bergerak ke pertemuan, presentasi solusi, pengajuan dan pembayaran, hingga fase berikutnya, yaitu bina relasi. Setiap nasabah ia kirimi kartu ucapan terima kasih. “Jarang dilakukan, jadi bisa untuk strategi menonjolkan diri di antara penasihat yang lain.” Lalu, tindak lanjutnya adalah memastikan nasabah menerima kartunya dan membuka obrolan terkait jadwal reviu. Setiap kali usai berinteraksi, ia mencatat peristiwa penting dan info lain yang diberikan nasabah di program CRM untuk dirujuk nanti pada pertemuan berikutnya.
“Nasabah membeli dari orang yang dipercaya. Jika produk Anda jelaskan sehingga mudah dipahami manfaatnya, pembelian pasti terjadi. Tapi jika nasabah tidak paham dan keberatan, berarti mungkin ada informasi yang tidak Anda ketahui dan perlu ditelusuri lagi,” kata Jackson.
Namun, jika nasabah masih menolak, penasihat jangan menyerah dalam membina relasinya.
“Harus mau tetap berjuang sekalipun nasabah belum siap membeli. Hanya karena tidak beli sekarang, bukan berarti takkan pernah beli dari Anda. Kalaupun begitu, harus tetap berjuang hingga titik darah penghabisan,” kata Jackson.
Kontak
Carey Jackson carey.jacksoniv@prudential.com